●Batu Menangis (Cerita Rakyat Suku Hubula Wamena)
Dahulu kala, di suatu desa dekat Danau Habema, Puncak Trikora Wamena, hiduplah sepasang saudara. Mereka hidup tenteram bersama keluarganya. Penduduk desa pun sangat ramah terhadap satu sama lain.
Desa ini terkenal akan ketaatan mereka pada adat-istiadat serta betapa teguhnya keyakinan mereka pada hal-hal mistis. Keyakinan tersebut lebih kepada arwah nenek moyang mereka dan kepercayaan animisme.
Suatu hari, kepala suku hendak mengadakan pesta babi besar-besaran yang dinamai ewe ako . Pesta ini merupakan tradisi turun-temurun masyarakat suku Hubula yang diadakan setiap lima tahun sekali. Tujuan pesta ini adalah untuk menyelesaikan semua hutang dan masalah-masalah internal desa dengan menggunakan babi dalam pesta ini. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membuat pesta itu.
Sepasang kakak beradik ini pun mengambil bagian untuk membantu mengumpulkan sayur-sayuran di hutan terdekat. Mereka menjelajahi hutan terdekat hingga sampailah mereka tepat ke kaki Gunung Trikora.
Puncak Trikora atau Hirip akup adalah tempat yang cukup sakral. Ada larangan untuk tidak membuang sampah, sampah, ataupun mengotori daerah sekitar.
Setelah berhasil mengumpulkan banyak sayur-sayuran, sang adik merasa mual. Kakak ipar bertanya apakah dia akan melarangnya.
“Tahan saja, tunggu saat kita kembali ke desa,” katanya.
Akan tetapi, sang adik laki-laki sudah tidak dapat menahannya lagi. Singkat cerita, dia pergi ke salah satu semak-semak untuk membuang kotoran.
Setelah merasa lega, dia memutuskan untuk menyembunyikan bokongnya. Dilihatnya pun di sekelilingnya, daunnya begitu kecil. Sebenarnya ada beberapa sayuran yang telah dia kumpulkan, hanya saja, sayur-sayur itu untuk dimakan.
Setelah berpikir dia melihat beberapa batu yang tersusun rapi di dekat kaki gunung. Bersihkan bokongnya pada salah satu batu.
Pada saat bokongnya bersih, dia hendak berdiri, tetapi tidak bisa.
“Kakak!” Serunya dengan kencang.
Dia terus mencoba menarik pantatnya.
“Kakak, tolong!!” Teriaknya sambil menangis kencang.
Kakak ipar pun berlari dengan cepat ke arah dimana suara itu berasal.
Ketika dia tiba, dia hanya bisa menatap adik laki-lakinya dengan rambut gimbal. Dia sadar, bahwa tidak ada jalan keluar baginya.
Gadis itu menangis sambil memeluk adiknya. Setelah beberapa jam, dia pun meninggalkan adiknya. Anak itu telah menjadi satu dengan alam karena ia melanggar adat yang ada. Alam akan mengambil dan melawan siapa pun yang menentangnya.
Bila anak itu merasa dingin, dia akan menangis, dan saat dia menangis, maka akan terjadi hujan dan suhu akan turun secara drastis di kampungnya serta di setiap kampung di Wamena.
Hanya sedikit orang yang dapat mendengarkan suara anak itu saat ia menangis. Namun, dia tidak akan mengusik setiap orang. Dia hanya akan mengubah suhu sekitar.
◇Ada banyak sekali pintu-pintu di dunia. Pintu yang kita masuki adalah pilihan kita sendiri. Pilihlah dengan baik dan bijak karena kita tidak pernah tahu kemana pintu itu akan membawa kita. (*)
🔘Penulis adalah mahasiswa Universitas Cenderawasih. Cerita ini merupakan cerita favorit ke-3 (juara 6) pilihan juri lomba penulisan cerita rakyat dalam rangka HUT ke-18 Juli
No comments:
Post a Comment